Sabtu, 28 Maret 2009

PASKIBRA BERJILBAB ? BOLEH !

Sejarah

Tidak bisa dipungkiri, Paskibraka lahir lewat ide dan tangan terampil Hussein Mutahar. Ketika masih berusia 29 tahun, sang Mayor ajudan Presiden Sukarno ini telah berwawasan sebegitu luasnya (dan sangat brilian) dalam merumuskan/menanamkan konsep kebangsaan bagi remaja hanya demi menjalankan sebuah perintah “mempersiapkan upacara bendera HUT pertama kemerdakaan RI”. Coba bila yang diberi perintah tersebut bukan H Mutahar, mungkin Paskibraka tidak akan pernah ada. Kalau bukan H Mutahar, bisa jadi ketika itu yang menjadi petugas upacara (pengibar bendera) adalah militer, alih-alih 5 pelajar perwakilan daerah yang berada di Yogyakarta.

Namun, bukan salah H Mutahar jika dilahirkan dimasa-masa itu. Bukan salahnya pula mengambil jalur militer. Teori sosial dan psikologi menegaskan bahwa keputusan individu tidak lepas dari pengaruh lingkungan dimana dia berada, berasal dan dibesarkan. Karena itu wajar bila beliau tidak memilih satupun putri berjilbab dalam Rukibraka (Regu Pengibar Bendera Pusaka) dan Paskeraka (Pasukan Pengerek Bendera Pusaka) yang menjadi cikal bakal Paskibraka dalam nama dan bentuknya seperti sekarang ini. Mengapa?

Pertama, silahkan lihat (dan ingat-ingat) dokumen-dokumen (foto/video) tentang Indonesia selama masa memperjuangkan kemerdekaan hingga masa awal kemerdekaan. Tidak ada, nyaris tidak ada satupun wanita -yang tertangkap kamera- yang mengenakan jilbab! Jikapun ada, itu bukan jilbab melainkan kerudung yang lebih bernuansa asesoris. Dan yang berkerudung itupun hampir semuanya wanita bersuami dan mbah-mbah (disimpulkan berdasar cara berpakaian dimana kerudung hampir selalu dipadukan dengan kebaya. Dan yang memakai kebaya dikehidupan sehari-hari jelas bukan anak SMA). Para remaja putri setingkat SMA tak ada yang berjilbab. Jadi, bukannya H Mutahar menolak putri berjilbab, tapi memang nggak ada yang jilbaban pada masa itu.

Kedua, dalam konteks latar belakangnya sebagai militer. H Mutahar tidak pernah melihat satupun wanita yang terjun dilingkungan militer yang memakai jilbab. Pengaruh lingkungan sosial (militer)inilah yang sedikit banyak mempengaruhi beliau dalam “membangun” Rukibraka dan Paskeraka. Para remaja putranya gundul dan yang putri rambutnya dipotong pendek laiknya wanita militer. Seandainya yang ngurus Paskibraka dulu adalah Gus Dur, boleh jadi Paskibraka sekarang berwujud seperti : “Yang putra sarungan, yang putri jilbaban dan semuanya pakai sandal jepit. Murah meriah, simpel, gitu aja kok repot!” Iya nggak Pak Gus Dur?

Nah, ketika debut Paskibraka (Rukibraka) berlangsung dalam kondisi tidak ada satupun anggotanya yang berjilbab dan kemudian berlanjut terus dalam waktu lama, kita jadi tertipu. Kita tertipu, saat dengan penuh percaya diri menyimpulkan dengan sembrono bahwa jilbab dilarang di Paskibraka. Padahal sebenarnya tidak dilarang, tidak pernah ada larangan (surat edaran menteri tentang syarat Paskibraka tidak pernah mencantumkan poin “JILBAB DILARANG”) namun terkungkung pada pengaruh sosial dan psikologis seperti yang dijelaskan diatas. Bahkan, ketika suatu hal terjadi terus menerus (padahal bisa jadi kebetulan semata), kita sang generasi “belakangan” dengan mudahnya terperangkap dengan mengatakan “ini sudah aturan” atau “dari sononya udah begitu”. Membabi buta pada tradisi? Kita yang modern harusnya mengatakan “Enggak deh”. Cari tahu dan pelajari, kalau benar ya dijalankan terus, kalau salah ya distop! Kalau prinsip “sudah tradisi” dilestarikan tanpa pengkajian benar salah, kenapa tidak kembali menjadi penyembah roh/berhala seperti nenek moyang kita dulu? Itu tradisi asli kita kan?

The truth

Kami mencoba membuka lembar-lembar Buku Panduan Organisasi (PO) Purna Paskibraka Indonesia keluaran Agustus 2005 untuk menemukan jawaban dari masalah tersebut (jika ada). Bila didalam buku itu terdapat aturan jelas yang mencantumkan pelarangan jilbab, habis perkara. Tidak perlu lagi ada asumsi ataupun kesimpulan tanpa dasar. Kalau sudah menjadi aturan resmi, mau bagaimana lagi? Hal ini seperti syarat membawa SIM bagi pengendara kendaraan bermotor. Kalau aturannya sudah jelas, Wali Songopun seandainya diijinkan kembali hidup saat ini, tetap nggak boleh membawa kendaraan bermotor. Sebaik apapun sikapnya, sejeli apapun matanya, sedigdaya apapun kesaktiannya, tetap saja kalau melewati sweeping/pemerikasaan polisi harus ditilang. Melanggar aturan! La nggak punya SIM kok. Begitu pula, bila ada aturan jelas dalam Paskibraka bahwa “jilbab dilarang masuk”, para wanita berjilbab harus legawa. Toh, tidak ada jaminan masuk surga kalau lolos jadi Paskibraka.

Namun dari pencarian yang nyaris membosankan (Buku panduan organisasi bukan komik), kami tidak menemukan sedikitpun fatwa pelarangan jilbab. Bahkan dalam arti-arti yang tersirat! Sebaliknya, ada indikasi bahwa jilbab sebenarnya diperbolehkan. Memang, fatwa bahwa jilbab halal dikenakan tidak tercantum gamblang di buku tersebut lewat aturan khusus. Akan tetapi, terdapat 2 poin yang menurut kami memberikan “lampu hijau” pada jilbab.

Poin pertama adalah aturan organisasi tentang seragam/atribut Purna Paskibraka Indonesia (PPI) dan tata cara penggunaannya. Disana dijelaskan warna, model dan tetek bengek lainnya yang harus dipenuhi oleh sebuah seragam (PDU/PDH). Nah, disana kami dapati sebuah ketentuan mengenai model seragam bagi PPI yang berjilbab (halaman 154-155). Alur berpikir yang kami kembangkan ialah, bila yang PPI saja halal mengenakan jilbab, mengapa ada asumsi/ kesimpulan bahwa Paskibraka (termasuk ketika masih calon) dilarang memakainya? Logikanya adalah tentu harus ada konsistensi aturan. Masak sebuah organisasi menerapkan standar ganda yang saling bertolak belakang? Tentu tidak adil bila untuk yang purna (PPI), jilbab adalah halal, sedang bagi yang Paskibraka (termasuk calon), jilbab dilarang.

Poin kedua adalah rekomendasi Munas IV PPI tahun 2003 dimana perlu “membuat PO khusus untuk daerah tertentu dalam penggunaan jilbab” (halaman 62). Sekilas, aturan ini mungkin lebih ditujukan pada propinsi NAD, namun makna tersiratnya memberi peluang pada daerah-daerah lain. Jika rekomendasi ini sengaja ditujukan khusus bagi NAD, rekomendasinya tentu akan dengan jelas (tersurat) menyebutkan propinsi yang satu ini. Tapi kenyataannya tidak. Perkembangan dilapanganpun mengindikasikan makna tersirat tersebut. Berbagai daerah mulai “sadar” akan pengejawantahan syarat utama seorang Paskibraka yaitu “Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Sebuah dosa besar bila menjadi pihak yang menghalang-halangi (bahkan melucuti) jilbab. Mudahnya, seseorang (wanita muslimah) yang memutuskan berjilbab karena panggilan jiwa memenuhi ajaran agama (Tuhan) tidak sepatutunya dihalangi. La wong nuruti gusti pengeran jhe. Malah yang seharusnya dihalangi ialah mereka yang menentang dan melucuti jilbab. Golongan ini dengan sah dan meyakinkan melawan perintah Tuhan, dan itu berarti tidak menjalankan prinsip Paskibraka yang “Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Jika mereka berteriak, “NKRI harga mati. Kami bukan agamis, namun Pancasilais!”. Jawab saja, “Bukankah sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa? Bukankah salah satu pemahaman dari sila tersebut berarti menjalakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Jadi, mana yang lebih pantas dikatakan sebagai Pancasilais?”. Pantaskah golongan seperti ini berada di dalam lingkaran Paskibraka?

3 komentar:

Unknown mengatakan...

yang gini ini harusnya disebarin pak!! jangan sampai ada lagi kasus kayak paskibra berjilbab gak boleh ikut, atau yang semacamya di jatim kemarin.
ah... saya benar2 ingin melihat pasukan paskibra penuh dengan jilbab..

Indah Rahmawati mengatakan...

saya setuju dengan tulisan ini,, dari dulu saya ingin mengikuti kegiatan paskibra.. secara postur tubuh saya memenuhi, tapi kebanyakan orang menganggap bahwa tidak sepatutnya paskibra mengenakan jilbab. sedangkan saya disini hidup berjilbab yang telah tertera bahwa itu adalah kewajiban untuk umat muslim.. saya lebih menganggap bahwa ini adalah sebuah diskriminasi.

Anonim mengatakan...

paskibraka berjilbab sdh umum dan banyak sekali skrg. kalau paskibraka bercadar boleh tdk ya? saya sendiri skrg bercadar dan msh aktif sbg paskibra..